Ekonomi Lingkungan


Ekonomi lingkungan atau ilmu ekonomi lingkungan adalah ilmu yang mempelajari perilaku atau kegiatan manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungannya yang terbatas sehingga fungsi atau peranan SDA dan lingkungan tersebut dapat dipertahankan dan bahkan penggunaannya dapat ditingkatkan dalam jangka panjang atau berkelanjutan. Dari sudut pandang ekonomi, masalah lingkungan timbul, karena biaya lingkungan tidak dimasukkan ke dalam biaya produksi, sehingga menyebabkan kerugian bagi orang lain atau pasar. Dalam hal ini, masalah lingkungan menyebabkan inefisiensi alokasi sumber daya alam dan lingkungan dalam proses produksi.
Dalam konteks tersebut, SDA dan lingkungan menjadi penyedia bahan baku, penyedia fasilitas, dan wadah untuk limbah. Dampak pencemaran SDA dan lingkungan, yang menimbulkan biaya yaitu: Menurunnya kuantitas SDA dan lingkungan sebagai penyedia bahan baku, Menurunnya kualitas SDA dan lingkungan sebagai fungsi dasar ekologis, Menimbulkan ketidaknyamanan pada manusia, Memberikan dampak yang buruk kepada kesehatan dan produktivitas.
Berkaitan dengan isu SDA dan lingkungan, metode yang digunakan untuk menilai, apakah perilaku atau kegiatan manusia tersebut feasible/layak atau tidak adalah dengan menggunakan metode Analisis Biaya Manfaat (Benefit Cost Analysis), di mana definisi manfaat adalah nilai barang/jasa bagi konsumen. Sementara, definisi biaya adalah manfaat yang hilang/dilepas/tidak diambil (opportunity cost).
Biaya pencegahan polusi adalah biaya yang dikeluarkan baik oleh perusahaan atau perorangan, dan/atau pemerintah untuk mencegah sebagian atau keseluruhan polusi. Dalam konteks ini, biaya pencegahan polusi yang dikeluarkan untuk menghindari polusi nilainya sama dengan kerusakan kesejahteraan masyarakat akibat polusi apabila biaya ini tidak dikeluarkan oleh perusahaan/perorangan/pemerintah.
Paradigma Pengelolaan Lingkungan Hidup
Sejak tahun 1950-an masalah lingkungan mendapat perhatian serius, tidak saja dari kalangan ilmuwan, tetapi juga politisi maupun masyarakat umum. Perhatian tersebut tidak saja diarahkan pada terjadinya berbagai kasus pencemaran terhadap lingkungan hidup tetapi juga banyaknya korban jiwa manusia.
Beberapa kasus lingkungan hidup yang menimbulkan korban manusia seperti pada akhir tahun 1950 yaitu terjadinya pencemaran di Jepang yang menimbulkan penyakit sangat mengerikan yang disebut penyakit itai-itai (aduh-aduh). Penyakit ini terdapat di daerah 3 Km sepanjang sungai Jintsu yang tercemari oleh Kadmium (Cd) dari limbah sebuah pertambangan Seng (Zn). Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kadar Cd dalam beras di daerah yang mendapat pengairan dari sungai itu mengandung kadmium 10 kali lebih tinggi daripada daerah lain. Pada tahun 1953 penduduk yang bermukim disekitar Teluk Minamata, Jepang mendapat wabah penyakit neurologik yang berakhir dengan kematian. Setelah dilakukan penelitian terbukti bahwa penyakit ini disebabkan oleh air raksa (Hg) yang terdapat di dalam limbah sebuah pabrik kimia. Air yang dikonsumsi tersebut pada tubuh manusia mengalami kenaikan kadar ambang batas keracunan dan mengakibatkan korban jiwa. Pencemaran itu telah menyebabkan penyakit keracunan yang disebut penyakit Minamata.
Pada tahun 1962 dipublikasikan karya Rachel Carson yang berjudul The Silent Spring (Musim Bunga yang Bisu) yang menguraikan tentang adanya penyakit baru yang mengerikan dan kematian hewan yang disebabkan oleh pencemaran dari penggunaan pestisida. Organisme hama dan vektor menjadi resisten terhadap pestisida yang dipakai, sehigga di banyak tempat pestisida tidak ampuh lagi memberantas penyakit malaria. Beberapa kasus lingkungan hidup yang terjadi dan merenggut banyak korban jiwa serta dipublikasikannya buku tersebut, menimbulkan keprihatinan masyarakat dan ditindak lanjuti dengan konferensi lingkungan hidup di Amerika Serikat pada tahun 1968 dengan judul “Teknologi yang Tidak Peduli” (The Careless Technology) yang mengemukakan tentang kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh bantuan luar negeri negara maju kepada negara berkembang yang menghasilkan bencana lingkungan. Pada tahun 1972 dipublikasikan karya dari The Club of Rome yang berjudul “Batas-batas Pertumbuhan” (The Limits to Growth) yang meramalkan bahwa jika kecenderungan pertumbuhan penduduk dunia, industrialisasi, pencemaran, produksi makanan dan menipisnya sumber daya alam terus berlaku tanpa perubahan, maka batas-batas pertumbuhan di planet kita ini akan tercapai dalam waktu 100 tahun mendatang.
Kesadaran umat manusia akan masalah lingkungan hidup semakin meluas yaitu dengan diadakannya Konferensi PBB tentang lingkungan hidup manusia di Stockholm, Swedia tanggal 5-16 Juni 1972. Konferensi ini merupakan perwujudan kepedulian bangsa-bangsa di dunia akan masalah lingkungan hidup dan merupakan komitmen prima bagi tanggung jawab setiap warga negara untuk memformulasikannya dalam setiap kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. Hasil dari konferensi ini adalah : (1) Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia, terdiri atas mukadimah (Preamble) dan 26 prinsip dalam Stockholm Declaration ; (2) Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi. Deklarasi dan rekomendasi dari konferensi ini dapat dikelompokkan menjadi lima bidang utama yaitu pemukiman, pengelolaan sumber daya alam, pencemaran, pendidikaan dan pembangunan. Deklarasi Stockholm juga menyerukan agar bangsa-bangsa di dunia mempunyai kesepakatan untuk melindungi kelestarian dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup bagi kehidupan manusia.
Setelah dikeluarkannya deklarasi tersebut, sejarah juga mencatat akan banyaknya peristiwa lingkungan hidup seperti : pencemaran di darat, air dan udara, pemanasan global, pelubangan lapisan ozon, sampai pada berkurangnya sumber daya alam dan energi, baik itu renewable resources, non renewable resources, maupun common property resources. Gangguan terhadap mata rantai ekosistem ini terjadi salah satunya disebabkan oleh kegiatan perekonomian yang menjadikan sumber daya alam dan energi menjadi modal utama berlangsungnya proses pembangunan ekonomi. Keberpihakan akan kemajuan ekonomi inilah yang mengakibatkan sumber daya alam dan energi menjadi korban bagi kemajuan pembangunan.
Menyadari akan hal tersebut maka aspek kelestarian lingkungan hidup untuk kesinambungan kehidupan antar generasi menjadi komitmen mutlak yang mendasari setiap kebijakan pengelolaan lingkungan hidup setiap negara di masa kini maupun masa mendatang. Dengan prinsip dasar seperti ini diharapkan setiap negara mampu untuk mengaktualisasikan komitmen ini agar dapat mengantisipasi sejauh mungkin segala akibat yang akan terjadi sehingga dapat memperkecil malapetaka lingkungan bagi umat manusia. Hal ini disebabkan masalah lingkungan hidup yang terjadi di suatu negara dapat memberikan dampak buruk bagi negara lain, dalam arti masalah lingkungan sudah tidak mengenal lagi akan batas-batas negara atau lintas negara dan bersifat global. Contoh dari hal ini seperti masalah kebakaran hutan, pembuangan limbah B3 (bahan beracun berbahaya), pencemaran air laut dan sebagainya.
Konferensi yang mencetuskan Deklarasi Stockholm tersebut melahirkan konsep ecodevelopment. Pencetus konsep ini adalah Maurice Strong yang kemudian dipopulerkan oleh Ignacy Sachs yang memberikan definisi sebagai berikut :
“…ecodevelopment is style of development that, in each ecoregion, calls for specific solutions to the particular problems of the region in the light of cultural as well as ecological data and long term as well as immediate needs. Accordingly, it operates with criteria of progress that are related to each particular case, and adaption to the environment plays and important role”.
Sejalan dengan gagasan ecodevelopment tersebut maka pembentukan WCED (World Commission on Environment and Development) oleh PBB tahun 1983 mempunyai andil yang sangat besar dalam merumuskan wawasan lingkungan dalam pembangunan di semua sektor. Pendekatan yang dilakukan WCED terhadap lingkungan dan pembangunan dari 6 (enam) aspek yaitu : keterkaitan, berkelanjutan, pemerataan, sekuriti dan resiko lingkungan, pendidikan dan komunikasi serta kerjasama internasional. Laporan WCED yang dibuat oleh Komisi Brundtland (Brundtland Commission) di tahun 1987 yaitu ”Hari Depan Kita Bersama” (Our Common Future) telah mencuatkan gagasan sustainable development (pembangunan berkelanjutan).
Tugas komisi tersebut telah ditentukan yaitu mendefinisikan hubungan antara pembangunan dan lingkungan. Dalam laporan tersebut pembangunan berkelanjutan dimaknai sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (development that meet the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs). Di dalamnya terkandung dua gagasan penting : Gagasan “kebutuhan”, khususnya kebutuhan essensial kaum miskin sedunia, yang harus diberi prioritas utama; Gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.
Nilai hakiki yang tersirat dalam pernyataan di atas adalah generasi yang hidup saat ini harus mampu bersikap arif dan bijaksana bahwa sumber daya alam yang terbentang di darat, laut dan udara dapat dimanfatkan sebaik mungkin dengan memperhatikan prinsip dasar ekologis yaitu : menjaga, memelihara, memanfaatkan serta melestarikan lingkungan guna kehidupan generasi mendatang. Hal ini menandakan bahwa generasi yang hidup di zamannya tidak boleh menghabiskan sumber daya alam atau penggunaanya tidak melampaui kemampuan ekosistem yang mendukung kehidupannya sehingga akan mengakibatkan generasi mendatang tidak tersisa lagi atau mewariskan malapetaka lingkungan yang pada akhirnya menghancurkan generasi umat manusia.
Berkelanjutan merupakan kegiatan yang secara terus-menerus dan pendefinisiannya didasarkan pada keadaan saat itu. Keberlanjutan suatu kegiatan untuk masa yang akan datang tidak dapat dijamin kepastiannya, oleh karena banyak faktor yang mempengaruhi dan bersifat tidak terduga. Akan tetapi konsep moral yang mendasari hal ini adalah tindakan konservasi dalam setiap kegiatan yang akan merusak, mencemari lingkungan hidup, mampu untuk mempelajari dampak dari kegiatan yang dilakukan serta banyak belajar dari setiap kesalahan.
Konsep pembangunan berkelanjutan ini selanjutnya oleh IUCN (International Union for The Conservation of Nature), UNEP (United Nations Environmental Programme) dan WWF (World Wide Fund For Nature) dikaji secara mendalam dalam “Caring For The Earth” tahun 1991 sebagai berikut : Terminologi tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang ambisius dan menimbulkan interpretasi yang sangat luas, di mana banyak di antaranya saling bertentangan (kontradiktif). Kerancuan itu disebabkan karena istilah “pembangunan yang berkesi-nambungan”, ”pertumbuhan yang berkesinambungan”, dan “pemakaian yang berkesinambungan” telah dipakai saling tukar seolah artinya sama. Padahal tidak demikian. “pertumbuhan yang berkesinambungan” merupakan suatu terminologi yang kontradiktif, tidak ada sesuatu yang bisa berkembang dalam jangka waktu yang tidak terbatas. “Penggunaan / pemakaian yang berkesinambungan” hanya bisa diterapkan pada sumber daya yang dapat diperbaharui ; artinya mempergunakan sumber daya tersebut pada tingkat yang bisa diperbaharui kembali. Ungkapan “pembangunan yang berkesinambungan” yang digunakan dalam dokumen ini dalam arti meningkatkan kualitas kehidupan manusia sementara mereka hidup dalam kapasitas daya dukung ekosistem pendukung.
Anthony Giddens menanggapi kosepsi pembangunan berkelanjutan tersebut sebagai sebuah definisi yang sangat sederhana yaitu sebagai kemampuan generasi sekarang “untuk memastikan bahwa perkembangan tersebut memenuhi kebutuhan-kebutuhan saat ini tanpa mengkompromikan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”. Karena generasi sekarang tidak mengetahui kebutuhan generasi mendatang, atau bagaimana perubahan teknologi mempengaruhi pemanfaatan sumber daya alam, gagasan pembangunan berkelanjutan tidak pernah akurat, dan karena itu tidak mengejutkan bahwa ada empat puluh definisi yang berbeda tentang hal itu. Pembangunan berkelanjutan dengan demikian lebih merupakan prinsip panduan ketimbang sebuah formula yang akurat.
Donald. N. Dewees menyebutkan bahwa pembanguan berkelanjutan adalah pembangunan di mana kebutuhan sosial melampaui biaya sosial dalam jangka panjang. Hal ini berarti terjadinya peningkatan yang berkesinambungan dalam pendapatan nyata per orang dan kualitas hidup; memperkecil perbedaan tingkat pendapatan, menghilangkan penderitaan fisik yang disebabkan oleh kemiskinan, mencegah kepunahan spesies atau ekosistem, memelihara keharmonisan sosial dan keamanan, dan memelihara peninggalan kebudayaan secara baik. Disebutkan pula oleh Donald. N. Dewees terdapat dua faktor yang membatasi pembangunan berkelanjutan ialah pencemaran dan konsumsi dari sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resources) dan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (non-renewable resources). Pencemaran lingkungan dapat mengurangi produktivitas pertanian, perikanan, kehutanan, dan merusak kesehatan. Akan sangat besar jumlah biaya yang dibutuhkan untuk membersihkannya, mengembalikan dalam keadaan semula, ataupun untuk menetralisasinya daripada untuk mengontrol supaya lingkungan tidak tercemar. Oleh karena itu pembangunan berkelanjutan memerlukan peraturan serta kebijaksanaan yang tepat untuk mengatur pencemaran lingkungan, bukan saja terhadap pencemar, tetapi juga dampaknya untuk jangka panjang.
Konsep pembangunan berkelanjutan tersebut selanjutnya dikemukakan lebih terperinci dalam dokumen maupun deklarasi pada KTT Bumi atau Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro tahun 1992. Konferensi ini menghasilkan lima dokumen yaitu :
Deklarasi Rio tentang Pembangunan dan Lingkungan dengan 27 asas yang menetapkan hak dan tanggung jawab bangsa-bangsa dalam memperjuangkan perkembangan dan kesejahteraan manusia.
Agenda 21 : Program Kerja Aksi PBB dari Rio, sebuah rancangan tentang cara mengupayakan pembangunan yang berkelanjutan dari segi sosial, ekonomi dan lingkungan hidup.
Konvensi tentang Perubahan Iklim. Tujuan kerangka Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim ialah menstabilkan gas-gas rumah kaca dalam atmosfer pada tingkatan yang tidak akan mengacaukan iklim global. Ini mensyaratkan pengurangan emisi gas-gas seperti karbondioksida, yaitu hasil sampingan dari pemakaian bahan bakar untuk mendapatkan energi.
Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, menghendaki agar negara-negara mengerahkan segala daya dan dana untuk melestarikan keragaman spesies-spesies hidup, dan mengupayakan agar manfaat penggunaan keragaman hayati itu dirasakan secara merata.
Pernyataan tentang Prinsip Kehutanan. Pernyataan tentang prinsip-prinsip yang menjadi pedoman bagi pengelolaan, pelestarian dan pembangunan semua jenis hutan secara berkelanjutan, yang merupakan unsur mutlak bagi pembangunan ekonomi dan pelestarian segala bentuk kehidupan.
Dari berbagai dokumen maupun deklarasi yang dihasilkan dalam KTT tersebut terdapat 5 (lima) prinsip utama yang terkandung dalam pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan (ecologically sustainable development) yaitu :
1.      Prinsip keadilan antar generasi (intergenerational equity)
Edith Brown Weiss menyebutkan bahwa makna yang terkandung dalam prinsip ini adalah setiap generasi umat manusia di dunia mempunyai hak untuk menerima dan menempati bumi bukan dalam kondisi yang buruk akibat perbuatan generasi sebelumnya, menurutnya ada tiga tindakan generasi sekarang yang sangat merugikan generasi mendatang : Konsumsi yang berlebihan terhadap sumber daya berkualitas membuat generasi mendatang harus membayar lebih mahal untuk dapat mengkonsumsi sumber daya yang sama; Pemakaian sumber daya saat ini belum diketahui manfaat terbaiknya sangat merugikan generasi mendatang, karena mereka harus membayar mahal untuk in-efisiensi dalam penggunaan sumber daya alam yang dilakukan generasi sekarang; Pemakaian sumber daya alam secara habis-habisan generasi sekarang membuat generasi mendatang tidak memiliki keragaman sumber daya yang besar.
Ada tiga dasar yang terkandung dalam prinsip keadilan antar generasi yaitu : Setiap generasi harus melakukan konservai keragaman sumber daya lingkungan, agar generasi mendatang memiliki pilihan yang sama banyaknya dengan generasi sekarang dalam pemanfaatan sumber daya lingkungan ; Setiap generasi harus menjaga atau memelihara kualitas lingkungan agar generasi mendatang dapat menikmati lingkungan dengan kualitas yang sama, sebagaimana yang dinikmati generasi sebelumnya. Setiap generasi yang menjamin hak akses yang sama terhadap segala warisan kekayaan alam dari generasi sebelumnya dan harus melindungi akses ini untuk generasi mendatang.
2.      Prinsip keadilan dalam satu generasi (intragenerational equity)
Prinsip ini menekankan pada keadilan dalam sebuah generasi umat manusia, termasuk di dalamnya ketidakberhasilan dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar lingkungan dan sosial, atau tepatnya kesenjangan antara individu dengan kelompok-kelompok dalam masyarakat tentang pemenuhan kualitas hidup. Menurut Mas Achmad Santosa, prinsip ini sangat berkaitan erat dengan isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan karena : Beban dan permasalahan lingkungan dipikul oleh masyarakat yang lemah secara sosial dan ekonomi ; Kemiskinan menimbulkan akibat degradasi lingkungan, karena masyarakat yang masih dalam taraf pemenuhan basic need pada umumnya tidak memiliki kepedulian lingkugan ; Upaya-upaya perlindungan dapat berakibat pada sektor-sektor tertentu yang lain ; Tidak seluruh anggota masyarakat memiliki akses yang sama dalam proses pengambilan keputusan yang berdampak pada lingkungan pengetahuan, ketrampilan, keberdayaan serta struktur pengambilan keputusan dapat menguntungkan anggota masyarakat tertentu dan merugikan kelompok lain.
3.      Prinsip pencegahan dini (precautionary principle)
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa apabila terdapat ancaman berarti atau adanya acaman kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan, ketiadaan temuan alasan untuk pembuktian ilmiah yang konkluksif dan pasti, tidak dapat dijadikan alasan untuk menunda upaya-upaya untuk mencegah terjadinya kerusakan tersebut. Menurut Mas Achmad Santosa, dalam menerapkan prinsip ini, pengambilan keputusan harus dilandasi oleh : (1) evaluasi yang sungguh-sungguh untuk mencegah seoptimal mungkin kerusakan lingkungan yang tidak dapat dipulihkan (2) penilaian dengan melakukan analisis risiko dengan menggunakan berbagai opsi (pilihan).
4.      Prinsip perlindungan keragaman hayati (conservation of biological diversity) ;
Potensi keragaman hayati memberikan arti penting bagi kesinambungan kehidupan umat manusia. Apalagi laju kerusakan dan kepunahan keragaman hayati semakin besar maka akan berakibat fatal bagi kelangsungan kehidupan umat manusia. Prinsip perlindungan keragamanan hayati merupakan prasyarat bagi berhasilnya pelaksanaan prinsip keadilan antar generasi. Sebagai contoh dalam keadaan masyarakat lokal (indigienus people) mengalami kehilangan atau keterputusan dari ekosistemnya akibat kepunahan keragaman hayati, maka tertutup akses terhadap tingkat kehidupan dan kesejahteraan yang layak. Perlindungan keragaman hayati juga terkait dengan masalah pencegahan, sebab mencegah kepunahan species dari keragaman hayati diperlukan demi pencegahan dini.
5.      Internalisasi biaya lingkungan. (Internalisation of environmental cost and incentive mechanism).
Rasio pentingnya diberlakukan prinsip ini berangkat dari suatu keadaan di mana penggunaan sumber daya alam kini merupakan kencenderungan atau reaksi dari dorongan pasar. Sebagai akibatnya kepentingan yang selama itu tidak terwakili dalam komponen pengambilan keputusan untuk penentuan harga pasar tersebut menjadi terabaikan dan menimbulkan kerugian bagi mereka.
Kelima prinsip tersebut kemudian dikenal sebagai prinsip pokok atau utama dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Walaupun demikian, konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan ini telah jelas memberikan petunjuk, akan tetapi tidaklah mudah untuk melaksanakannya. Otto Soemarwoto menyebutkan agar pembangunan dapat terlanjutkan, tiga syarat harus dipenuhi, yaitu ekonomi, sosial budaya dan ekologi. Konsep yang diajukan oleh Otto Soemarwoto ini tidak jauh berbeda dengan konsep yang diajukan oleh Stockholm Environment Institute (1996) yang mengembangkan suatu sistem yaitu Sistem Sosio Ekologi yang terdiri dari atas 3 sub-sistem,yang masing-masing berkenaan dengan masyarakat manusia, lingkungan hidup dan ekonomi. Dalam kajian lain disebutkan ada 4 (empat) syarat yang harus dipenuhi bagi suatu proses pembangunan berkelanjutan.
Pertama, menempatkan suatu kegiatan dan proyek pembangunan pada lokasi yang secara ekologis, benar.
Kedua, pemanfaatan sumber daya terbarukan (renewable resources) tidak boleh melebihi potensi lestarinya serta upaya mencari pengganti bagi sumber daya tak terbarukan (non-renewable resources).
Ketiga, pembuangan limbah industri maupun rumah tangga tidak boleh melebihi kapasitas asimilasi pencemaran.
Keempat, perubahan fungsi ekologis tidak boleh melebihi kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity).


Sumber-sumber:
eprints.undip.ac.id/1116/1/Ekommi_Lingkungan_Aziz.PDF
library.usu.ac.id/download/fp/D0100892.pdf

Komentar

Postingan populer dari blog ini

selamat datang kembali

Pembangunan Berkelanjutan(sustainable development)

galau bersama lagu